Sebagai
salah satu anak bangsa yang pernah hidup dijaman 80-an, tentu sandiwara
radio bukan hal yang asing buat saya. Kala itu saya masih duduk dibangku
Sekolah Dasar (SD) sekitar kelas 4 atau 5 (persisnya saya lupa tapi
kurang lebihnya ya begitu). Ada banyak cerita yang bisa didenar dari
Sandiwara Radio itu, mulai dari cerita tentang jaman kerajaan, cerita
para wali, cerita anak, dongeng sampai kisah drama percintaan modern.
Sebut saja
beberapa judul yang ada waktu itu seperti Saur Sepuh, Ibuku Sayang Ibuku
Malang, Misteri dari Gunung Merapi, Butir-Butir Pasir dilaut, Tutur
Tinular, Babad Tanah Leluhur, Bende Mataram, Keris Gandrung Arum.
Dari semua
sandiwara radio itu, Saur Sepuh adalah sandiwara radio yang menjadi
Master of the Legend atau legenda terbesar dari sandiwara radio yang
pernah ada dijaman-jaman itu. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki
Kosasih (almarhum) yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar
sakti mandraguna bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja disalah
satu kerajaan diwilayah kulon yang bernama Madangkara.
Cerita Saur
Sepuh dengan toko utamanya Brama Kumbara ini, tidak sekedar sebuah
cerita drama biasa yang mengumbar silat atau drama percintaan murahan
tetapi juga sarat dengan nilai pendidikan, sejarah dan filosofis
kehidupan. Disana ada unsur pendidikan terhadap arti pengkhianatan,
kearifan, pengampunan, kesabaran bahkan juga secara tidak langsung
menjadi wejangan bagi para penguasa yang membawahi rakyat banyak untuk
selalu memperhatikan kemaslahatan masyarakat yang ia pimpin.
Memang
cerita Saur Sepuh hanyalah sebuah cerita rekaan Niki Kosasih dan sama
sekali tidak mengambil latar belakang era Islam, setting cerita ini ada
pada masa-masa kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Hayam Wuruk
(misalnya ada pada episode Banjir Darah di Bubat) sampai era perang
saudara nya dijaman Prabu Whikramawardhana melawan pembrontakan Bhre
Wirabumi dipamotan (misalnya ada pada episode Satria Madangkara). Meski
demikian, sejak saya kecil, cerita ini banyak mengilhami dan mengajari
saya tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Saya percaya banyak dari
orang-orang yang sejaman dengan sayapun akan mengamini pendapat saya
ini.
Waktu itu,
dunia pertelevisian belumlah semarak diera 2000-an. Stasiun televisi
yang ada, hanya satu yaitu TVRI. Drama atau istilah sekarangnya
Sinetron, hanya sesekali ditayangkan oleh TVRI seperti misalnya yang
saya ingat saja : Drama Losmen, Rumah Masa Depan, Pak Nujum dan Pak
Belalang, Jendela Rumah Kita dan sebagainya.
Selaku
anak-anak yang haus akan hiburan, maka hari-hari kami dihabiskan dengan
mendengar cerita-cerita dari Sandiwara Radio yang disiarkan oleh
berbagai stasiun radio yang masih berada difrekwensi AM kala itu.
Biasanya setelah usai sandiwara radio itu, kami berfantasi tentang
tokoh-tokoh yang kami dengar.
Kami,
khususnya saya, membayangkan sosok Brama yang gagah perkasa dan sakti
dengan singgasananya yang anggun, dekat dengan rakyat dan arif terhadap
keluarganya. Begitupula sosok Pramitha sebagai salah satu istri Brama,
sebagai sosok ibu yang bijak pada anak-anaknya, tidak ambisi terhadap
harta dan jabatan serta selalu memberikan yang terbaik untuk
keluarganya.
Tapi
kemudian, imajinasi ini menjadi rusak manakala Saur Sepuh yang selama
ini hanya bisa kami dengar ceritanya diradio akhirnya divisualisasikan
dalam bentuk Film Layar Lebar. Muncullah kemudian sosok Brama yang gemuk
dan berkumis tebal, garang dan lebih banyak menampilkan sisi kekerasan
perkelahian pada diri Brama yang diperankan oleh Fendy Pradhana. Nyaris
tidak ada unsur kearifan dan hal-hal luhur yang pernah sangat membumi
pada versi asli disandiwara radionya.
Satu-satunya
hal yang bisa diambil persamaan antara versi asli dengan versi
sinemanya yang bisa sedikit menghibur hati hanyalah pada sosok Mantili
sebagai adik Brama yang memang seorang pendekar pedang yang tangguh dan
emosional. Itupun mungkin karena tokoh Mantili dalam layar lebar
diperankan oleh orang yang sama dengan pemeran Mantili pada serial
sandiwara radionya, yaitu : Elly Ermawaty.
Sandiwara
radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60
seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun radio ditanah
air.
Tahun 2013,
kisah perjalanan Brama Kumbara kembali ditayangkan dalam format sinetron
yang disiarkan oleh Indosiar. Hanya saja ceritanya berubah total. Luar
biasa hancur naskahnya kali ini.
Pada
sinetron Saur Sepuh yang mengambil judul Brama Kumbara ini, tokoh Brama
justru digambarkan sebagai seorang pengkhianat. Ia berpura-pura menjadi
panglima perang dari kerajaan Guntala yang kemudian bermaksud
menggulingkan raja Guntala dan mendirikan kembali Madangkara.
Tokoh Brama
juga pada sinetron tersebut diceritakan terlibat cinta terlarang dengan
gurunya sendiri yang bernama Sekar Tanjung. Padahal, tokoh Sekar Tanjung
sama sekali tidak pernah ada dan dikenal pada naskah serta cerita asli
Brama Kumbara.
Tokoh Sekar
Tanjung hanyalah rekaan atau sisipan pada sinetron ini yang diadaptasi
dari cerita Pendekar Rajawali Yoko alias The Return of The Condor
Heroes.
Selamanya Brama hanya punya guru satu orang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada tokoh Sekar Tanjung sama sekali.
Juga Utari,
tidak pernah terlibat cinta dengan Gotawa. Sosok Ardalepa juga bukan
pejabat dari Guntala yang gila perempuan serta berambisi menjadi raja.
Utari adalah cinta pertama Brama Kumbara.
Tokoh
Ardalepa dalam cerita aslinya justru digambarkan sebagai sosok pejabat
Guntala yang baik hati dan dermawan pada rakyat Madangkara. Sejak
istrinya mati, Ardalepa hanya menikah dengan Gayatri, Ibu Brama. Tidak
ada selir sama sekali seperti yang digambarkan pada sinetron Brama
Kumbara 2013 itu.
Harnum, sama
sekali bukan sosok yang lemah gemulai seperti dalam sinetron tersebut.
Harnum, meskipun ia putri seorang raja, namun ia juga adalah seorang
pendekar.
Sebagai
kritikan dan gugatan atas cerita asli yang sudah dirubah-rubah ini, maka
saya tertarik untuk menuangkan sinopsis dan juga pengenalan tokoh-tokoh
yang ada dalam cerita Saur Sepuh yang pernah disiarkan diera 80-a dulu
melalui tulisan di Blog Arsip ini. Bagaimanapun, Saur Sepuh adalah
bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Catatan ini,
ditulis berdasarkan pengetahuan yang masih terekam jelas dalam ingatan
dan bahkan bisa dibuktikan pula melalui kaset-kaset rekaman asli
Sandiwara Radio Saur Sepuh yang masih ada (diluar dari kaset yang
menjadi OST. Film layar lebarnya). Beberapa tulisan disini juga
merupakan hasil tukar pengetahuan bersama para pencinta Saur Sepuh lain
yang sejaman dengan saya dan saat ini tergabung dalam dua komunitas
Pencinta Sandiwara Radio berbentuk group di Facebook:
Saur Sepuh Karya Niki Kosasih: https://www.facebook.com/groups/355659604498344/
Saur Sepuh: https://www.facebook.com/groups/53076405988/
Berikut uraian lebih jauh dari cerita aslinya :
Tokoh BRAMA KUMBARA
Ia seorang
pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah
masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya yang bernama Darmasalira adalah
keturunan Raja Madangkara yang terkudeta; Kakek Astagina, guru dan juga
kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu
Brama bernama Gayatri. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok
yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.
Setelah
menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan
dan pejabat dari Guntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik
satu ibu lain ayah dari Brama. Brama dan Mantili memang saudara
kandung, tetapi yang mempunyai garis darah biru atas kerajaan Madangkara
hanyalah Brama, sebab darah biru itu mengalir dari jalur ayahnya.
Selain karena memang memiliki aliran darah biru, Brama akhirnya menjadi
Raja Madangkara karena beliau jugalah yang memimpin pergerakan
nasionalis Madangkara melawan pasukan perang Guntala. Dengan
persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang juga menjadi
jajahan Guntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang mampu
menghancurkan Guntala.
Brama kecil
diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar
tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi
raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu
kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki
Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa (sebelum
akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru
yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)
Guru Brama
hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain diluar itu.
Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
Dari semua
ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang
tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
Brama
memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada
Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah.
Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti
digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah
pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
Manakala
pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah dan
mengeluarkan gulungan kertas berisi silsilah raja-raja Madangkara. Dari
gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah
satu keturunan raja Madangkara yang sah.
Brama
memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang
satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini
didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu
kandung Brama. Tidak ada sejarahnya dalam cerita aslinya, Brama
terlibat perselisihan dengan Ardalepa seperti yang ditayangkan dalam
sinteron pada tahun 2013. Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang
sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil.
Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
Brama juga
didalam cerita aslinya tidak pernah menjadi panglima perang dari
kerajaan Guntala. Brama adalah seorang tokoh yang dikesankan dalam
cerita ini sebagai lambang pahlawan yang menjunjung tinggi sifat-sifat
ksatria. Ia seorang pendekar yang pilih tanding, sampai-sampai bahkan
dalam pertarungan tersengit sekalipun, Brama tidak pernah menggunakan
senjata apapun.
Seperti juga
Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua
orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang
pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok
yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik
kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik.
Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun
disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang
Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati
Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat
dekatnya.
Sosok Brama
Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal
cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian
milik Tumenggung Gardika dari Guntala. Brama kalah dalam pertarungan
itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa sampai pada tingkat
kesepuluh (yaitu tingkat terakhir dari ilmu tersebut). Sementara
tingkatan ajian serat jiwa milik Brama ketika ia bertarung melawan
Gardika belum mencapai puncak. Dengan kondisi yang terluka parah,
Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam
Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian,
dari peristiwa kekalahannya itu, Brama menyempurnakan Ajian Serat Jiwa
yang ia miliki hingga sampai di Tingkat 10, tingkatan tertinggi ilmu
ini.
Gardika yang
juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali
bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu
Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian
Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama, Brama
lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut.
Selain itu Brama mempelajari ajian serat jiwa langsung dari kitab
aslinya sehingga penguasaannya pun lebih sempurna dari Gardika. Memang
saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu
menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat
tertinggi.
Misalnya
diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi
musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun
salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa
Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili sendiri
hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri Brama Kumbara)
maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa
dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma
Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit)
hanya sampai tingkat 9.
Hanya Brama,
Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek
Astagina sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru
Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai
intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa
itu sendiri.
Ketika
ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada
digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan.
Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung
Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan
orang-orang Guntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu,
Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto
Agni.
Amarah Brama
yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa
dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia
menangis dikaki Buto Agni.
Setelah
peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu
diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima
Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri
bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.
Kisah
perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang
Guntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut
sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina.
Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.
Panembahan
Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin
Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat
Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia
melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui
kekalahan.
Tapi tidak
butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji
Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu
melalui perpaduan antara ajian Serat Jiwa tingkat 1 dan ajian serat jiwa
tingkat ke-10. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya
diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan
Lasmini.
Namun Brama
tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang
saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa
bertobat. Akhirnya, Brama menciptakan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh.
Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari
Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
Setelah
kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik
menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman.
Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Bhiksu Kampala yang
datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri kegoa pantai selatan sampai wafatnya.
Tentang RAJAWALI SAKTI
Burung
Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil, ketika
digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika Brama
bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka
dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas
di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah ‘jatuh cinta’
dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius
oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu
terbang….” katanya; tapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan
membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa
berbahaya.
Beberapa
kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking
penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil
rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi
pertarungan sengit dan kemudian Brama ‘menclok’ di punggung rajawali
itu dibawa terbang tapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya Rajawali itu
‘menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah terbang berputar
tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka bersahabat…
Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun
menjadi tunggangannya.
Disini kisah
pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan
versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina
dirubah menjadi Sekar Tanjung.
Di kemudian
hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu
sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat
pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu
dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang bisa
menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.
Tokoh
JAKA LUMAYUNG : Ini adalah kakak seperguruan Brama, sama-sama murid
Kakek Astagina. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin
Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang bersama
Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada
Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka
Lumayung kalah. Brama kemudian menciptakan Ilmu Lampah-Lumpuh di
perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia
merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran.
Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama
40 hari lamanya.
KELABANG
HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu
muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik
Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan
bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta. Mantili
pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa tingkat
2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh
Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka
Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian
Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat
membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai
Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan
ilmu ini ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung
Saba yang hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili
juga pernah dikalahkan oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu
Waringin Sungsang.
KANDARA:
Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi
pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi
kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra kandungnya
dari Harnum yang bernama Wanapati).
Kandara
mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra
Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara diantara keduanya.
Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat
Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai Ajian
Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan Soma
Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang
Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.
Kisah Perjalanan cinta Brama Kumbara :
UTARI, ia
adalah cinta pertama Brama. Ia seorang gadis pendekar yang bertemu
dengan Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar siluman di Desa
Halimun. Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan ‘nasionalis’
Madangkara. Sayang, kemudian dia tewas dalam salah satu pertempuran…
Utari ini adalah puteri dari Panglima Bernawa, salah satu panglima
perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.
Lama
kemudian, barulah Brama menemukan cintanya kembali pada diri Harnum,
gadis bangsawan dari kerajaan Niskala- yang juga seorang pendekar dan
petualang.
Disaat
bersamaan, Brama juga bertemu dengan seorang janda bangsawan dari
Sadeng bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama
Bentar. Ia pernah diselamatkan oleh Brama dalam sebuah peristiwa dan
selanjutnya ikut dengan Brama dalam pengembaraannya bersama Harnum
sebagai pendekar.
Selain
Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih tua dari
Bentar. Ia bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan Majapahit
yang dipimpin oleh patih Gajah Mada kekerajaan Sadeng itu, Garnis
terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan undur diri dari
jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang kemadangkara
bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai Pramitha dan
Bentar.
Kisah
berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha pada Brama sebagaimana juga
Harnum mencintai Brama. Karena persahabatan yang erat dan mengetahui
bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya, maka ketika
Harnum dilamar oleh Brama, Harnumlah yang mensyaratkan untuk juga
menikahi Pramitha, janda pelarian dari Sadeng yang baik hati itu.
Jadilah Brama beristeri dua, dan keduanya diangkat menjadi Permaisuri
sampai Brama diceritakan wafat.
Selain
Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang pernah
mengisi hati Brama. Namanya adalah Doria, gadis cantik berjiwa
petualang. Dari Doria inilah Brama menerima Sepasang Gelang Marmer
Putih yang selalu melekat ditangan Brama dan menjadi salah satu senjata
pusaka Madangkara. Beranjak dari kedua gelang marmer ini pula nantinya
Brama menciptakan ilmu yang bernama Ajian Gelang-Gelang.
KISAH CINTA MANTILI-GOTAWA-SAMBA-WIDATI
Mantili pada
mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan dari Kerajaan
Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis pengembangan Padepokan
Gunung Wangsit yang didirikan oleh Mantili. Mereka memang saling
mencintai, tapi juga sering bertengkar karena dua-duanya sama-sama muda
dan keras.
Raden Samba
memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa menembus tanah.
Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan dengan seorang
janda muda dan kaya bernama Widati, yang dulu merupakan isteri Juragan
Anom. Sebuah perjumpaan biasa, bermula dari menolong roda pedati yang
terperosok, sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama. Sebagai
catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang muda dan cantik, semacam janda kembang.
Ketika
Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng yang di
ikuti oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah pulau
terpencil, perahu yang mereka tumpangi telah di lubangi oleh penjualnya
yang ternyata ulah dari anak buah miranti.Di tengah gelombang tinggi
dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para penumpangnya
berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian,
sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke
tempat kering. Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak
hingga terdampar di sebuah gua di pinggir pantai.
Entah siapa
mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga saling tergoda,
dalam keadaan terdampar itu, terjadilah ‘perselingkuhan’ antara Raden
Samba dan Widati. Ketika mengetahui hal itu, tentu saja Mantili murka…
untunglah Brama berhasil meredam suasana sehingga tidak terjadi
pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan Widati.
Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan sekian
lama, hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri tetap
bersahabat baik.
Ketika
Mantili dalam situasi ‘galau’ itu, orang yang sering hadir menemani
adalah Gotawa, seorang pejuang nasionalis Madangkara yang sebenarnya
juga sudah lama bersama Brama dalam perjuangan menegakkan kembali
Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama menumbuhkan cinta, bukan cinta
yang romantis memang… tapi perjumpaan pribadi yang cocok: Gotawa sangat
mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga sangat
menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau mengalah
dan bisa ‘ngemong’ watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.
Mantili
merasa menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu mengimbangi
sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria yang baik
seperti sosok kakaknya, Brama Kumbara.
Brama yang
memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya orang seperti
Gotawa yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya, tentu saja
mendukung dan mendorong pula perjodohan mereka. Akhirnya mereka pun
menikah, dari perkawinannya lahirlah Pangeran Paksi Jaladara atau Raden
Paksi Jaladara.
Kisah
persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa dengan Raden
Samba, mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden Samba atas
izin dari istrinya, Widati, membantu Mantili menemukan kembali Pedang
Setannya yang hilang dicuri setelah penyerbuan Wirya Kumandra yang
mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang berhasil mencuri pedang
itu.
Diantara
keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun, hubungan mereka
setelah keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan. Raden Samba juga
dalam proses pencarian pedang setan ini pernah menyelamatkan Mantili
yang hampir tewas dihajar oleh Lugina dengan ajian Waringin Sungsang.
Adapun sosok
Patih Gotawa, beliau sebenarnya jika dilihat dari sejarah awal Saur
Sepuh, berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati Madangkara
sebelum diserang oleh Guntala. Gotawa merupakan adik seperguruan dari
panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh ditangan Guntala, Gotawa
menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus menghimpun kekuatan
diantara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan pembrontakan terhadap
Guntala.
Brama
sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia Gotawa
setidaknya sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung Mantili.
Gotawa menguasai ilmu Tatar Bayu yang membuatnya bisa berlari sangat
cepat seiring angin.
Gotawa
adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu akan terbukti
dengan pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama Kumbara.
Tentang PEDANG SETAN dan PEDANG PERAK
Tentang
latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan Pedang
Setan yang selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu pedang ini
bisa mengeluarkan asap berbau busuk seperti bangkai yang memabokkan
lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat, sehingga jarang-jarang ada
pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.
Brama yang
berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa Pedang Setan
dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang sangat berbakat
memainkan pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam hal penguasaan
ilmu kadigdayaan, tetapi sangat berbakat dalam ilmu tangan kosong dan
sangat mahir dalam memainkan pedang.
Maka, ketika
Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan langka ini, bisa
dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili menjadi terkenal
sebagai pendekar pedang sejati, pendekar pedang nomor satu. Ada suatu
rahasia yang diketahui Brama dan disampaikan pada adiknya, sehingga
hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang pusaka dengan sempurna,
tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh aroma busuk asap
beracun si Pedang Setan.
Kemasyuran
nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar pedang kelas
wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si Pedang Perak.
Ia seorang pendekar pedang yang sangat sakti pula, mempunyai pedang
pusaka bernama Pedang Perak, yang mengeluarkan cahaya yang sangat
menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si Pedang Setan, untuk
membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang sejati
atau pendekar pedang nomor satu.
Awalnya
tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka sama-sama tokoh
golongan putih dan memang tidak saling memiliki persoalan, tapi
lama-lama akhirnya dilayani juga. Mantili berlatih pedang dibawah
pengawasan patih Gotawa dengan cara menatap matahari, sebab pedang
perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa membutakan
mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri dengan latihan
bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan, akhirnya duel pun
dilaksanakan. Pertempuran di bawah sinar purnama itu begitu dahsyat dan
berimbang. Namun akhirnya Mantili yang unggul. Taji Barnas Si Pedang
Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang tingkat tinggi itu.
Taji Barnas
mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian waktu senjata
itu hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada suatu peristiwa,
Pedang Setan Hilang, dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan Si Dewa Maut,
pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi oleh Jasiun, dan kemudian
jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara seperguruan Kijara
dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa menggunakan Pedang
Setan dan kemudian berhasil pula memainkannya.
Dari
peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang Perak
secara sempurna. Hebatnya, pedang perak ini tidak akan rusak atau patah
ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah pertempuran
dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut kembali pedang
setannya dan membunuh Mariba.
Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati
Kedua tokoh
ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh. Kehadiran Paksi
Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari sandiwara radio tersebut
yang menceritakan perjalanan generasi kedua tokoh-tokoh sakti
Madangkara.
Sayangnya
diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah terlibat
konflik dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan bersumber
dari kedua tokoh ini secara langsung akan tetapi berkat konspirasi dari
Patih Kandara yang mendampingi Wanapati di Madangkara.
Raden Paksi
mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya, Mantili. Punya
cita-cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata kerajaan
madangkara. Demi mewujudkan cita-citanya ini dia sering melatih olah
kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda Madangkara di kadipaten
jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih kandara
yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang menyusun
kekuatan untuk memberontak.
Prabu
wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan polos. Dia
lebih menyukai ilmu tata pemerintahan dari pada olah kanuragan. Namun
karena usianya msh sangat muda, ia menjadi makanan empuk bagi hasutan
patih kandara yang licik.
Raden
Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan Adipati
Sadeng. Meski begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat brama.
Arif bijaksana dan sakti mandraguna. Dia jadi penengah dan pendamai
dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode Sengketa Tanah
Leluhur.
Atas
konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh prabu
Wanapati dari Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur. Raden
Bentar sendiri pernah terluka parah diserang oleh Patih Kandara dengan
ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan prabu Wanapati putera
Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh ibunya,
Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai selatan
ditemani juga oleh rajawali raksasa milik Brama.
Selanjutnya
dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar diceritakan berguru
dengan Bhiksu Kampala dari Tibet hingga menguasai ilmu Angin Es, Ikatan
Roh dan Salju Menyiram Bumi.
Patih
Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya dikalahkan oleh
paman Soma Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah berkhianat dan
bersekutu dengan Miranti si Klabang Hitam dalam mencuri kitab Ajian
Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik Mantili. Patih Kandara yang
menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh Soma yang
menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini diceritakan pula
tentang pertobatan dari Soma atas sikap-sikapnya yang keliru dimasa lalu
pada Mantili. Pertobatannya itu diterima oleh Pramitha dan Bentar yang
kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk menjalin hubungan baik kembali
kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.
Tokoh
Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama dari
Pramitha dan Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana
Mantili. Ia pernah mengembara ke Majapahit untuk menuntut balas pada
patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam penyerangan Majapahit ke
Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu dengan
Pramitha dan Bentar di Madangkara.
Tokoh Garnis
pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah Leluhur. Ia menjadi
salah satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah Saur Sepuh pada
generasi keduanya.
Adapun
mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan. Ia pernah
menjadi kekasih dari Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre
Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama Wardhana di Majapahit.
Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria
Madangkara karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna
utusan Brama kepada Pamotan.
Lasmini
kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk menuntut
balas. Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama. Karena
cintanya ditolak oleh Brama, Lasmini akhirnya melampiaskan kekesalannya
dengan Mantili, Gotawa dan Harnum. Ketiganya berhasil dirobohkannya
dengan Aji Sirep Megananda.
Syahdan
setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian yang
mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum, kelak Lasmini kembali membuat
keributan di Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh Mantili
dan diusir keluar dari Madangkara. Jamali sendiri kemudian mengabdi di
Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah menemani Brama melawat
kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya. Jamalipun
pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan Senopati Indra
Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi dari Kijara dan
Lugina yang menguasai ilmu Waringin Sungsang.
Jauh
berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini menemukan sosok
Brama pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati Bentar yang usianya
sebenarnya jauh dibawah Lasmini. Dengan berbagai pendekatannya, Lasmini
berhasil memikat Bentar. Keduanya sempat terlibat skandal asmara sampai
kemudian muncul tokoh Anjani sebagai putri Lasmini dari akibat
perkosaan yang ia alami oleh para begundal yang menyerangnya. Dalam
perjalanannya, Lasmini juga kemudian berhasil menguasai sejumlah ilmu
kesaktian dari nenek Lawu. Pada episode ini Lasmini muncul menjadi sosok
perempuan hebat yang menguasai inti sari 3 ilmu sekaligus : Ilmu Serat
Jiwa, Waringin Sungsang dan Lampah Lumpuh yang disebut dengan nama Cipta
Dewa.
Dari titik
inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu tokoh Madangkara
digambarkan telah ditemui oleh Brama yang secara khusus keluar dari tapa
semedinya dipengasingan guna mewariskan ilmu Cipta Dewi. Sebuah ilmu
dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah Lumpuh dan juga Cipta
Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang sebelumnya berilmu
hebat akhirnya menemui kekalahan telak.
O.iya, ada
dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua punakawan yang selalu
mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba semasa mengelana sebagai
sepasang pendekar yang mengejar Miranti si Klabang Hitam. Nama keduanya
adalah Merid dan Bongkeng.
Baik Merid
maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian apapun.
Keduanya adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu
membawa-bawa barang didalam pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden
Samba menikah dengan Widati, Bongkeng mempunyai usaha sendiri
dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses menjadi seorang
saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.
Inilah kisah
asli Saur Sepuh yang pernah ada diera 80-an. Sebuah kisah yang ditulis
oleh almarhum Niki Kosasih dan menjadi populer ditelinga anak-anak
sampai orang tua dijaman itu.
Manakala
terjadi perubahan naskah atau cerita antara versi asli dari kisah Brama
Kumbara ini dengan bentuk visualisasi yang ada diberbagai sinetronnya,
jelas bukan kesalahan dari Niki Kosasih. Apalagi bila kita lihat
sinetron produksi Genta Buana dengan judul Brama Kumbara pada tahun 2013
yang jelas sudah merubah total keaslian naskah dari Saur Sepuh ini.
Saur Sepuh
adalah bagian dari budaya bangsa dalam bentuk sandiwara radio yang
mestinya kita lestarikan dan dijaga, bukan malah dirubah-ubah seperti
itu. Lebih amburadulnya lagi, dalam sinetron yang tayang tahun 2013 itu,
divisualisasikan bagaimana kerajaan Guntala bisa menundukkan kerajaan
Kutai. Dan kerajaan Kutai itu disebut-sebut berlokasi di Jawa Barat. Ini
benar-benar suatu pembodohan dan pemutar balikan fakta sejarah.
No comments:
Post a Comment