Sunday, April 7, 2013

Kisah Asli Brama Kumbara (catatan seorang pendengar Saur Sepuh tahun 80-an)


Sebagai salah satu anak bangsa yang pernah hidup dijaman 80-an, tentu sandiwara radio bukan hal yang asing buat saya. Kala itu saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) sekitar kelas 4 atau 5 (persisnya saya lupa tapi kurang lebihnya ya begitu). Ada banyak cerita yang bisa didenar dari Sandiwara Radio itu, mulai dari cerita tentang jaman kerajaan, cerita para wali, cerita anak, dongeng sampai kisah drama percintaan modern.
Sebut saja beberapa judul yang ada waktu itu seperti Saur Sepuh, Ibuku Sayang Ibuku Malang, Misteri dari Gunung Merapi, Butir-Butir Pasir dilaut, Tutur Tinular, Babad Tanah Leluhur, Bende Mataram, Keris Gandrung Arum. 
Dari semua sandiwara radio itu, Saur Sepuh adalah sandiwara radio yang menjadi Master of the Legend atau legenda terbesar dari sandiwara radio yang pernah ada dijaman-jaman itu. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki Kosasih (almarhum) yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti mandraguna bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja disalah satu kerajaan diwilayah kulon yang bernama Madangkara.
Cerita Saur Sepuh dengan toko utamanya Brama Kumbara ini, tidak sekedar sebuah cerita drama biasa yang mengumbar silat atau drama percintaan murahan tetapi juga sarat dengan nilai pendidikan, sejarah dan filosofis kehidupan. Disana ada unsur pendidikan terhadap arti pengkhianatan, kearifan, pengampunan, kesabaran bahkan juga secara tidak langsung menjadi wejangan bagi para penguasa yang membawahi rakyat banyak untuk selalu memperhatikan kemaslahatan masyarakat yang ia pimpin.
Memang cerita Saur Sepuh hanyalah sebuah cerita rekaan Niki Kosasih dan sama sekali tidak mengambil latar belakang  era Islam, setting cerita ini ada pada masa-masa kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Hayam Wuruk (misalnya ada pada episode Banjir Darah di Bubat) sampai era perang saudara nya dijaman Prabu Whikramawardhana melawan pembrontakan Bhre Wirabumi dipamotan (misalnya ada pada episode Satria Madangkara). Meski demikian, sejak saya kecil, cerita ini banyak mengilhami dan mengajari saya tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Saya percaya banyak dari orang-orang yang sejaman dengan sayapun akan mengamini pendapat saya ini.
Waktu itu, dunia pertelevisian belumlah semarak diera 2000-an. Stasiun televisi yang ada, hanya satu yaitu TVRI. Drama atau istilah sekarangnya Sinetron, hanya sesekali ditayangkan oleh TVRI seperti misalnya yang saya ingat saja : Drama Losmen, Rumah Masa Depan, Pak Nujum dan Pak Belalang, Jendela Rumah Kita dan sebagainya. 
Selaku anak-anak yang haus akan hiburan, maka hari-hari kami dihabiskan dengan mendengar cerita-cerita dari Sandiwara Radio yang disiarkan oleh berbagai stasiun radio yang masih berada difrekwensi AM kala itu. Biasanya setelah usai sandiwara radio itu, kami berfantasi tentang tokoh-tokoh yang kami dengar.
Kami, khususnya saya, membayangkan sosok Brama yang gagah perkasa dan sakti dengan singgasananya yang anggun, dekat dengan rakyat dan arif terhadap keluarganya. Begitupula sosok Pramitha sebagai salah satu istri Brama, sebagai sosok ibu yang bijak pada anak-anaknya, tidak ambisi terhadap harta dan jabatan serta selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Tapi kemudian, imajinasi ini menjadi rusak manakala Saur Sepuh yang selama ini hanya bisa kami dengar ceritanya diradio akhirnya divisualisasikan dalam bentuk Film Layar Lebar. Muncullah kemudian sosok Brama yang gemuk dan berkumis tebal, garang dan lebih banyak menampilkan sisi kekerasan perkelahian pada diri Brama yang diperankan oleh Fendy Pradhana. Nyaris tidak ada unsur kearifan dan hal-hal luhur yang pernah sangat membumi pada versi asli disandiwara radionya. 
Satu-satunya hal yang bisa diambil persamaan antara versi asli dengan versi sinemanya yang bisa sedikit menghibur hati hanyalah pada sosok Mantili sebagai adik Brama yang memang seorang pendekar pedang yang tangguh dan emosional. Itupun mungkin karena tokoh Mantili dalam layar lebar diperankan oleh orang yang sama dengan pemeran Mantili pada serial sandiwara radionya, yaitu : Elly Ermawaty.
kaset-saursepuh
Kisah perjalanan Brama Kumbara sendiri selain dalam versi layar lebarnya, pernah diangkat beberapa kali dalam bentuk sinetron televisi dengan pemain yang berbeda. Mulai dari cerita Darah Biru sampai Satria Madangkara (tayang di TPI sekitar tahun 1993) dengan George Rudy sebagai Brama Kumbara hingga Singgasana Brama Kumbara (tayang di ANTV sekitar tahun 1995) dengan sosok Brama Kumbara yang diperankan oleh Anto Wijaya (pernah juga menjadi Angling Dharma dalam sinetron dengan judul sama).
Sandiwara radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun radio ditanah air. 
Tahun 2013, kisah perjalanan Brama Kumbara kembali ditayangkan dalam format sinetron yang disiarkan oleh Indosiar. Hanya saja ceritanya berubah total. Luar biasa hancur naskahnya kali ini.
Pada sinetron Saur Sepuh yang mengambil judul Brama Kumbara ini, tokoh Brama justru digambarkan sebagai seorang pengkhianat. Ia berpura-pura menjadi panglima perang dari kerajaan Guntala yang kemudian bermaksud menggulingkan raja Guntala dan mendirikan kembali Madangkara.
Tokoh Brama juga pada sinetron tersebut diceritakan terlibat cinta terlarang dengan gurunya sendiri yang bernama Sekar Tanjung. Padahal, tokoh Sekar Tanjung sama sekali tidak pernah ada dan dikenal pada naskah serta cerita asli Brama Kumbara.
Tokoh Sekar Tanjung hanyalah rekaan atau sisipan pada sinetron ini yang diadaptasi dari cerita Pendekar Rajawali Yoko alias The Return of The Condor Heroes.
Selamanya Brama hanya punya guru satu orang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada tokoh Sekar Tanjung sama sekali. 
Juga Utari, tidak pernah terlibat cinta dengan Gotawa. Sosok Ardalepa juga bukan pejabat dari Guntala yang gila perempuan serta berambisi menjadi raja. Utari adalah cinta pertama Brama Kumbara.
Tokoh Ardalepa dalam cerita aslinya justru digambarkan sebagai sosok pejabat Guntala yang baik hati dan dermawan pada rakyat Madangkara. Sejak istrinya mati, Ardalepa hanya menikah dengan Gayatri, Ibu Brama. Tidak ada selir sama sekali seperti yang digambarkan pada sinetron Brama Kumbara 2013 itu.
Harnum, sama sekali bukan sosok yang lemah gemulai seperti dalam sinetron tersebut. Harnum, meskipun ia putri seorang raja, namun ia juga adalah seorang pendekar. 
Sebagai kritikan dan gugatan atas cerita asli yang sudah dirubah-rubah ini, maka saya tertarik untuk menuangkan sinopsis dan juga pengenalan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita Saur Sepuh yang pernah disiarkan diera 80-a dulu melalui tulisan di Blog Arsip ini. Bagaimanapun, Saur Sepuh adalah bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Catatan ini, ditulis berdasarkan pengetahuan yang masih terekam jelas dalam ingatan dan bahkan bisa dibuktikan pula melalui kaset-kaset rekaman asli Sandiwara Radio Saur Sepuh yang masih ada (diluar dari kaset yang menjadi OST. Film layar lebarnya). Beberapa tulisan disini juga merupakan hasil tukar pengetahuan bersama para pencinta Saur Sepuh lain yang sejaman dengan saya dan saat ini tergabung dalam dua komunitas Pencinta Sandiwara Radio berbentuk group di Facebook: 
Saur Sepuh Karya Niki Kosasih: https://www.facebook.com/groups/355659604498344/

Berikut uraian lebih jauh dari cerita aslinya :

Tokoh BRAMA KUMBARA
Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya yang bernama Darmasalira adalah keturunan Raja Madangkara yang terkudeta; Kakek Astagina, guru dan juga kakek  Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu  Brama bernama Gayatri. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.
Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan pejabat dari Guntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari  Brama.  Brama dan Mantili memang saudara kandung, tetapi yang mempunyai garis darah biru atas kerajaan Madangkara hanyalah  Brama, sebab darah biru itu mengalir dari jalur ayahnya. Selain karena memang memiliki aliran darah biru,  Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena beliau jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan pasukan perang Guntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang juga menjadi jajahan Guntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang mampu menghancurkan Guntala.
Brama kecil diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa (sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)
Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain diluar itu. Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah dan mengeluarkan gulungan kertas berisi silsilah raja-raja Madangkara. Dari gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah satu keturunan raja Madangkara yang sah.
Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu kandung Brama. Tidak ada sejarahnya dalam cerita aslinya, Brama terlibat perselisihan dengan Ardalepa seperti yang ditayangkan dalam sinteron pada tahun 2013. Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
Brama juga didalam cerita aslinya tidak pernah menjadi panglima perang dari kerajaan Guntala. Brama adalah seorang tokoh yang dikesankan dalam cerita ini sebagai lambang pahlawan yang menjunjung tinggi sifat-sifat ksatria. Ia seorang pendekar yang pilih tanding, sampai-sampai bahkan dalam pertarungan tersengit sekalipun, Brama tidak pernah menggunakan senjata apapun. 
Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik. Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat dekatnya.
Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian milik Tumenggung Gardika dari Guntala. Brama kalah dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa sampai pada tingkat kesepuluh (yaitu tingkat terakhir dari ilmu tersebut). Sementara tingkatan ajian serat jiwa milik Brama ketika ia bertarung melawan Gardika belum mencapai puncak. Dengan kondisi yang terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian,  dari peristiwa kekalahannya itu, Brama menyempurnakan Ajian Serat Jiwa yang ia miliki hingga sampai di Tingkat 10, tingkatan tertinggi ilmu ini.
Gardika yang juga  menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama,  Brama lebih unggul  berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut.  Selain itu  Brama mempelajari ajian serat jiwa langsung dari kitab aslinya sehingga penguasaannya pun lebih sempurna dari Gardika. Memang saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat tertinggi. 
Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili  sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri Brama Kumbara) maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit) hanya sampai tingkat 9.
Hanya Brama, Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek Astagina sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa itu sendiri.
Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan orang-orang Guntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto Agni. 
Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia menangis dikaki Buto Agni.
Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.
Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang Guntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.
Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui kekalahan.
Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu melalui perpaduan antara ajian Serat Jiwa tingkat 1 dan ajian serat jiwa tingkat ke-10. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan Lasmini.
Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa bertobat. Akhirnya, Brama menciptakan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman. Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Bhiksu Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri kegoa pantai selatan sampai wafatnya. 
Tentang RAJAWALI SAKTI
Burung Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu  Brama masih kecil, ketika digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika  Brama bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu,  Brama sudah ‘jatuh cinta’ dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu terbang….” katanya; tapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa berbahaya.
Beberapa kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking penasarannya,  Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi pertarungan sengit dan kemudian  Brama ‘menclok’ di punggung rajawali itu dibawa terbang tapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya Rajawali itu ‘menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah terbang berputar tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka bersahabat…  Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun menjadi tunggangannya.
Disini kisah pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina dirubah menjadi Sekar Tanjung.
ilustrasi Brama menunggang burung rajawali
ilustrasi pribadi atas sosok Brama yang sedang menunggang burung rajawali
Di kemudian hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang bisa menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.
Tokoh JAKA LUMAYUNG : Ini adalah kakak seperguruan  Brama, sama-sama murid Kakek Astagina. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang bersama  Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka Lumayung kalah.  Brama kemudian menciptakan Ilmu Lampah-Lumpuh di perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran. Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama 40 hari lamanya.
KELABANG HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta. Mantili pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa tingkat 2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan ilmu ini ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung Saba yang hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili juga pernah dikalahkan oleh  Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu Waringin Sungsang.
KANDARA: Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra kandungnya dari Harnum yang bernama Wanapati).
Kandara mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara diantara keduanya. Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai Ajian Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan Soma Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.
Kisah Perjalanan cinta Brama Kumbara :
UTARI, ia adalah cinta pertama  Brama. Ia seorang gadis pendekar yang bertemu dengan  Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar siluman di Desa Halimun. Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan ‘nasionalis’ Madangkara. Sayang, kemudian dia tewas dalam salah satu pertempuran… Utari ini adalah puteri dari Panglima Bernawa, salah satu panglima perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.
Lama kemudian, barulah  Brama menemukan cintanya kembali pada diri Harnum, gadis bangsawan dari kerajaan Niskala- yang  juga seorang pendekar dan petualang.
Disaat bersamaan,  Brama  juga bertemu dengan seorang janda bangsawan dari Sadeng bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama Bentar. Ia pernah diselamatkan oleh Brama dalam sebuah peristiwa dan selanjutnya ikut dengan Brama dalam pengembaraannya bersama Harnum sebagai pendekar.
Selain Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih tua dari Bentar. Ia bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada kekerajaan Sadeng itu, Garnis terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan undur diri dari jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang kemadangkara bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai Pramitha dan Bentar.
Kisah berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha  pada  Brama  sebagaimana juga Harnum mencintai Brama. Karena persahabatan yang erat dan mengetahui bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya, maka ketika  Harnum dilamar oleh  Brama, Harnumlah yang mensyaratkan untuk juga menikahi Pramitha, janda pelarian dari Sadeng  yang baik hati itu. Jadilah  Brama beristeri dua, dan keduanya diangkat menjadi Permaisuri sampai Brama diceritakan wafat.
Selain Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang pernah mengisi hati  Brama. Namanya  adalah Doria, gadis cantik berjiwa petualang. Dari Doria inilah  Brama menerima Sepasang Gelang Marmer Putih yang selalu melekat ditangan Brama dan menjadi salah satu senjata pusaka Madangkara. Beranjak dari kedua gelang marmer ini pula nantinya Brama menciptakan ilmu yang bernama Ajian Gelang-Gelang.
KISAH CINTA MANTILI-GOTAWA-SAMBA-WIDATI
Mantili pada mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan dari Kerajaan Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis pengembangan Padepokan Gunung Wangsit yang didirikan oleh Mantili. Mereka memang saling mencintai, tapi juga sering bertengkar karena dua-duanya sama-sama muda dan keras.
Raden Samba memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa menembus tanah. Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan dengan seorang janda muda dan kaya bernama Widati, yang dulu merupakan isteri Juragan Anom. Sebuah perjumpaan biasa, bermula dari menolong roda pedati yang terperosok, sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama. Sebagai catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang muda dan cantik, semacam janda kembang.
Ketika Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng yang di ikuti oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah pulau terpencil, perahu yang mereka tumpangi  telah di lubangi oleh penjualnya yang ternyata ulah dari anak buah miranti.Di tengah gelombang tinggi dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para penumpangnya berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian, sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke tempat kering. Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak hingga terdampar di sebuah gua di pinggir pantai.
Entah siapa mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga saling tergoda, dalam keadaan terdampar itu, terjadilah ‘perselingkuhan’ antara Raden Samba dan Widati. Ketika mengetahui hal itu, tentu saja Mantili murka… untunglah  Brama berhasil meredam suasana sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan Widati. Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan sekian lama, hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri tetap bersahabat baik.
Ketika Mantili dalam situasi ‘galau’ itu, orang yang sering hadir menemani adalah Gotawa, seorang pejuang nasionalis Madangkara yang sebenarnya juga sudah lama bersama Brama dalam perjuangan menegakkan kembali Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama menumbuhkan cinta, bukan cinta yang romantis memang… tapi perjumpaan pribadi yang cocok: Gotawa sangat mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga sangat menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau mengalah dan bisa ‘ngemong’ watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.
Mantili merasa  menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu mengimbangi sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria yang baik seperti sosok kakaknya, Brama Kumbara.  
Brama yang memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya orang seperti Gotawa yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya, tentu saja mendukung dan mendorong pula perjodohan mereka. Akhirnya mereka pun menikah, dari perkawinannya lahirlah Pangeran Paksi Jaladara atau Raden Paksi Jaladara. 
Kisah persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa dengan Raden Samba, mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden Samba atas izin dari istrinya, Widati, membantu Mantili menemukan kembali Pedang Setannya yang hilang dicuri setelah penyerbuan Wirya Kumandra yang mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang berhasil mencuri pedang itu.
Diantara keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun, hubungan mereka setelah keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan. Raden Samba juga dalam proses pencarian pedang setan ini pernah menyelamatkan Mantili yang hampir tewas dihajar oleh Lugina dengan ajian Waringin Sungsang.
Adapun sosok Patih Gotawa, beliau sebenarnya jika dilihat dari sejarah awal Saur Sepuh, berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati Madangkara sebelum diserang oleh Guntala. Gotawa merupakan adik seperguruan dari panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh ditangan Guntala, Gotawa menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus menghimpun kekuatan diantara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan pembrontakan terhadap Guntala.
Brama sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia Gotawa setidaknya sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung Mantili.  Gotawa menguasai ilmu Tatar Bayu yang membuatnya bisa berlari sangat cepat seiring angin. 
Gotawa adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu akan terbukti dengan pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama Kumbara.

Tentang PEDANG SETAN dan PEDANG PERAK
Tentang latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan Pedang Setan yang selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu pedang ini bisa mengeluarkan asap berbau busuk seperti bangkai yang memabokkan lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat, sehingga jarang-jarang ada pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.
Brama yang berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa Pedang Setan dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang sangat berbakat memainkan pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam hal penguasaan ilmu kadigdayaan, tetapi sangat berbakat dalam ilmu tangan kosong dan sangat mahir dalam memainkan pedang.
Maka, ketika Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan langka ini, bisa dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili menjadi terkenal sebagai pendekar pedang sejati, pendekar pedang nomor satu. Ada suatu rahasia yang diketahui  Brama dan disampaikan pada adiknya, sehingga hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang pusaka dengan sempurna, tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh aroma busuk asap beracun si Pedang Setan.
Kemasyuran nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar pedang kelas wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si Pedang Perak. Ia seorang pendekar pedang yang sangat sakti pula, mempunyai pedang pusaka bernama Pedang Perak, yang mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si Pedang Setan, untuk membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang sejati atau pendekar pedang nomor satu.
Awalnya tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka sama-sama tokoh golongan putih dan memang tidak saling memiliki persoalan, tapi lama-lama akhirnya dilayani juga. Mantili berlatih pedang dibawah pengawasan patih Gotawa dengan cara menatap matahari, sebab  pedang perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa membutakan mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri dengan latihan bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan, akhirnya duel pun dilaksanakan. Pertempuran di bawah sinar purnama itu begitu dahsyat dan berimbang. Namun akhirnya Mantili yang unggul. Taji Barnas Si Pedang Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang tingkat tinggi itu.
Taji Barnas mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian waktu senjata itu hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada suatu peristiwa, Pedang Setan Hilang, dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan Si Dewa Maut, pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi oleh Jasiun, dan kemudian jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara seperguruan Kijara dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa menggunakan Pedang Setan dan kemudian berhasil pula memainkannya. 
Dari peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang Perak secara sempurna. Hebatnya, pedang perak ini tidak akan rusak atau patah ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah pertempuran dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut kembali pedang setannya dan membunuh Mariba.
Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati
Kedua tokoh ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh. Kehadiran Paksi Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari sandiwara radio tersebut yang menceritakan perjalanan generasi kedua tokoh-tokoh sakti Madangkara.
Sayangnya diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah terlibat konflik dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan bersumber dari kedua tokoh ini secara langsung akan tetapi berkat konspirasi dari Patih Kandara yang mendampingi Wanapati di Madangkara.
Raden Paksi mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya, Mantili. Punya cita-cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata kerajaan madangkara. Demi mewujudkan cita-citanya ini dia sering melatih olah kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda Madangkara di kadipaten jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih kandara yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang menyusun kekuatan untuk memberontak.
Prabu wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan polos. Dia lebih menyukai ilmu tata pemerintahan dari pada olah kanuragan. Namun karena usianya msh sangat muda, ia menjadi makanan empuk bagi hasutan patih kandara yang licik.  
Raden Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan Adipati Sadeng. Meski begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat brama. Arif bijaksana dan sakti mandraguna. Dia jadi penengah dan pendamai dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode Sengketa Tanah Leluhur.
Atas konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh prabu Wanapati dari Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur. Raden Bentar sendiri pernah terluka parah diserang oleh Patih Kandara dengan ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan prabu Wanapati putera Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh ibunya, Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai selatan ditemani juga oleh rajawali raksasa milik Brama.
Selanjutnya dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar diceritakan berguru dengan Bhiksu Kampala dari Tibet hingga menguasai ilmu Angin Es, Ikatan Roh dan Salju Menyiram Bumi. 
Patih Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya dikalahkan oleh paman Soma Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah berkhianat dan bersekutu dengan Miranti si Klabang Hitam dalam mencuri kitab Ajian Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik Mantili. Patih Kandara yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh Soma yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini diceritakan pula tentang pertobatan dari Soma atas sikap-sikapnya yang keliru dimasa lalu pada Mantili. Pertobatannya itu diterima oleh Pramitha dan Bentar yang kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk menjalin hubungan baik kembali kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.
Tokoh Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama dari Pramitha dan Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana Mantili. Ia pernah mengembara ke Majapahit untuk menuntut balas pada patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam penyerangan Majapahit ke Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu dengan Pramitha dan Bentar di Madangkara.
Tokoh Garnis pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah Leluhur. Ia menjadi salah satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah Saur Sepuh pada generasi keduanya.
Adapun mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan. Ia pernah menjadi kekasih dari Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama Wardhana di Majapahit. Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria Madangkara karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna utusan Brama kepada Pamotan.  
Lasmini kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk menuntut balas. Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama. Karena cintanya ditolak oleh Brama, Lasmini akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan Mantili, Gotawa dan Harnum. Ketiganya berhasil dirobohkannya dengan Aji Sirep Megananda.
Syahdan setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian yang mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum,  kelak Lasmini kembali membuat keributan di Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh Mantili dan diusir keluar dari Madangkara. Jamali sendiri kemudian mengabdi di Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah menemani Brama melawat kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya. Jamalipun pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan Senopati Indra Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi dari Kijara dan Lugina yang menguasai ilmu Waringin Sungsang.
Jauh berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini menemukan sosok Brama pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati Bentar yang usianya sebenarnya jauh dibawah Lasmini. Dengan berbagai pendekatannya, Lasmini berhasil memikat Bentar. Keduanya sempat terlibat skandal asmara sampai kemudian muncul tokoh Anjani sebagai putri Lasmini dari akibat perkosaan yang ia alami oleh para begundal yang menyerangnya. Dalam perjalanannya, Lasmini juga kemudian berhasil menguasai sejumlah ilmu kesaktian dari nenek Lawu. Pada episode ini Lasmini muncul menjadi sosok perempuan hebat yang menguasai inti sari 3 ilmu sekaligus : Ilmu Serat Jiwa, Waringin Sungsang dan Lampah Lumpuh yang disebut dengan nama Cipta Dewa.
Dari titik inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu tokoh Madangkara digambarkan telah ditemui oleh Brama yang secara khusus keluar dari tapa semedinya dipengasingan guna mewariskan ilmu Cipta Dewi. Sebuah ilmu dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah Lumpuh dan juga Cipta Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang sebelumnya berilmu hebat akhirnya menemui kekalahan telak.
O.iya, ada dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua punakawan yang selalu mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba semasa mengelana sebagai sepasang pendekar yang mengejar Miranti si Klabang Hitam. Nama keduanya adalah Merid dan Bongkeng.
Baik Merid maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian apapun. Keduanya adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu membawa-bawa barang didalam pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden Samba menikah dengan Widati, Bongkeng mempunyai usaha sendiri dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses menjadi seorang saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.
Inilah kisah asli Saur Sepuh yang pernah ada diera 80-an. Sebuah kisah yang ditulis oleh almarhum Niki Kosasih dan menjadi populer ditelinga anak-anak sampai orang tua dijaman itu. 
Manakala terjadi perubahan naskah atau cerita antara versi asli dari kisah Brama Kumbara ini dengan bentuk visualisasi yang ada diberbagai sinetronnya, jelas bukan kesalahan dari Niki Kosasih. Apalagi bila kita lihat sinetron produksi Genta Buana dengan judul Brama Kumbara pada tahun 2013 yang jelas sudah merubah total keaslian naskah dari Saur Sepuh ini.
Saur Sepuh adalah bagian dari budaya bangsa dalam bentuk sandiwara radio yang mestinya kita lestarikan dan dijaga, bukan malah dirubah-ubah seperti itu. Lebih amburadulnya lagi, dalam sinetron yang tayang tahun 2013 itu, divisualisasikan bagaimana kerajaan Guntala bisa menundukkan kerajaan Kutai. Dan kerajaan Kutai itu disebut-sebut berlokasi di Jawa Barat. Ini benar-benar suatu pembodohan dan pemutar balikan fakta sejarah.

Sumber :

No comments:

Post a Comment