Sebagai
salah satu anak bangsa yang pernah hidup dijaman 80-an, tentu sandiwara
radio bukan hal yang asing buat saya. Kala itu saya masih duduk dibangku
Sekolah Dasar (SD) sekitar kelas 4 atau 5 (persisnya saya lupa tapi
kurang lebihnya ya begitu). Ada banyak cerita yang bisa didenar dari
Sandiwara Radio itu, mulai dari cerita tentang jaman kerajaan, cerita
para wali, cerita anak, dongeng sampai kisah drama percintaan modern.
Sebut saja
beberapa judul yang ada waktu itu seperti Saur Sepuh, Ibuku Sayang Ibuku
Malang, Misteri dari Gunung Merapi, Butir-Butir Pasir dilaut, Tutur
Tinular, Babad Tanah Leluhur, Bende Mataram, Keris Gandrung Arum.
Dari semua
sandiwara radio itu, Saur Sepuh adalah sandiwara radio yang menjadi
Master of the Legend atau legenda terbesar dari sandiwara radio yang
pernah ada dijaman-jaman itu. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki
Kosasih (almarhum) yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar
sakti mandraguna bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja disalah
satu kerajaan diwilayah kulon yang bernama Madangkara.
Cerita Saur
Sepuh dengan toko utamanya Brama Kumbara ini, tidak sekedar sebuah
cerita drama biasa yang mengumbar silat atau drama percintaan murahan
tetapi juga sarat dengan nilai pendidikan, sejarah dan filosofis
kehidupan. Disana ada unsur pendidikan terhadap arti pengkhianatan,
kearifan, pengampunan, kesabaran bahkan juga secara tidak langsung
menjadi wejangan bagi para penguasa yang membawahi rakyat banyak untuk
selalu memperhatikan kemaslahatan masyarakat yang ia pimpin.
Memang
cerita Saur Sepuh hanyalah sebuah cerita rekaan Niki Kosasih dan sama
sekali tidak mengambil latar belakang era Islam, setting cerita ini ada
pada masa-masa kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Hayam Wuruk
(misalnya ada pada episode Banjir Darah di Bubat) sampai era perang
saudara nya dijaman Prabu Whikramawardhana melawan pembrontakan Bhre
Wirabumi dipamotan (misalnya ada pada episode Satria Madangkara). Meski
demikian, sejak saya kecil, cerita ini banyak mengilhami dan mengajari
saya tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Saya percaya banyak dari
orang-orang yang sejaman dengan sayapun akan mengamini pendapat saya
ini.
Waktu itu,
dunia pertelevisian belumlah semarak diera 2000-an. Stasiun televisi
yang ada, hanya satu yaitu TVRI. Drama atau istilah sekarangnya
Sinetron, hanya sesekali ditayangkan oleh TVRI seperti misalnya yang
saya ingat saja : Drama Losmen, Rumah Masa Depan, Pak Nujum dan Pak
Belalang, Jendela Rumah Kita dan sebagainya.
Selaku
anak-anak yang haus akan hiburan, maka hari-hari kami dihabiskan dengan
mendengar cerita-cerita dari Sandiwara Radio yang disiarkan oleh
berbagai stasiun radio yang masih berada difrekwensi AM kala itu.
Biasanya setelah usai sandiwara radio itu, kami berfantasi tentang
tokoh-tokoh yang kami dengar.
Kami,
khususnya saya, membayangkan sosok Brama yang gagah perkasa dan sakti
dengan singgasananya yang anggun, dekat dengan rakyat dan arif terhadap
keluarganya. Begitupula sosok Pramitha sebagai salah satu istri Brama,
sebagai sosok ibu yang bijak pada anak-anaknya, tidak ambisi terhadap
harta dan jabatan serta selalu memberikan yang terbaik untuk
keluarganya.
Tapi
kemudian, imajinasi ini menjadi rusak manakala Saur Sepuh yang selama
ini hanya bisa kami dengar ceritanya diradio akhirnya divisualisasikan
dalam bentuk Film Layar Lebar. Muncullah kemudian sosok Brama yang gemuk
dan berkumis tebal, garang dan lebih banyak menampilkan sisi kekerasan
perkelahian pada diri Brama yang diperankan oleh Fendy Pradhana. Nyaris
tidak ada unsur kearifan dan hal-hal luhur yang pernah sangat membumi
pada versi asli disandiwara radionya.
Satu-satunya
hal yang bisa diambil persamaan antara versi asli dengan versi
sinemanya yang bisa sedikit menghibur hati hanyalah pada sosok Mantili
sebagai adik Brama yang memang seorang pendekar pedang yang tangguh dan
emosional. Itupun mungkin karena tokoh Mantili dalam layar lebar
diperankan oleh orang yang sama dengan pemeran Mantili pada serial
sandiwara radionya, yaitu : Elly Ermawaty.