Catatan Hukum Boy Yendra Tamin
Dalam proses penegakkan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.
Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggabarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.
Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyerrtaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.
Memahami konsep teoritik deelneming (penyertaan) tersebut, maka dalam konteks Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jelas terlihat suatu penyertaan yang tersusun, yakni;
yang melakukan
yang menyuruh lakukan
yang turut serta melakukan
yang sengaja melakukan
Jika diperhatikan rumusan Pasal 55 tersebut, maka adalah tidak mungkin dalam pembuktian Pasal 55 KUHP dalam pemeriksaan perkara pidana, pasal ini dinyatakan sebagai terbukti hanya dengan menyimbulkan adanya kerjasama kolektif tanpa menunjukkan peran dari masing-masing pelaku dari suatu tindak pidana. Apalagi diantara pelaku terdapat hubungan kerja atasan dan bawahan dan disisi lain ada kewenangan-kewenangan dari hubungan atasan-bawahan dimaksud.
Bahwa suatu tindak pidana yang pelakunya lebih dari satu orang, apalagi diberkas dalam satu perkara, maka jadi aneh apabila hanya dengan menyebutkan adanya kerjanya secara kolektif disimpulkan pasal 55 KUHP sebagai terbukti, padahal peran dan kedudukan dari masing-masing pelaku tidak ditemukan, misalnya manakah diantara pelaku tindak pidana yang ditempatkan sebagai orang yang melakukan, menyuruh lakukan atau iku melakukan. Dalam konteks ini betapa penting menemukan kapasitas dari masing-masing pelaku tindak pidana, apalagi terkait dengan hubungan kerja formal.
Dengan hanya mengedepan adanya hubungan kerjasama secara koletif dan hakim menjatuhkan vonis kepada pekaku, sesungguhnya proses pemeriksaan suatu tindak pidana belum tuntas dan belum menemukan kebenaran materil dan formil. Apalagi hakim tidak bisa menentukan perbuatan-perbuatan pelaku dalam jabatan dan kedudukannya masing-masing. Tidak jarang hakim abai dengan rumusan dakwaan penuntut umum yang hanya menyebutkan si-A, bersama dengan SI-B dan C telah melakukan...., padahal antara A, B dan C mempunyai kedudukan dan kewenangan atau kapasitas yang berbeda. Selain itu adakalanya penyebutan demikian hanya guna menjangkau agar penggunaan Pasal 55 KUHP terpenuhi, padahal apabila digali da ditemukan detail dari kapasitas dan eksistensi dari masing-masing pelaku, besar kemungkinan Pasal 55 KUHP tidak terpenuhi. Meskipun tindak pidana itu terjadi dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu, tetapi tidak selamanya dapat dihubungkan dengan Pasal 55 KUHP. Akibat cara merumuskan uraian perbuatan pidana dan adanya keengnanan atau mungkin kekurangan memahami masalah dan lingkungan tempat dimana tidak pidana itu terjadi, maka istilah adanya kerjasama secara kolektif dipadang sebagai telah terpenuhinya Pasal 55 KUHP yang secara teknis meminta adanya kejelasan peran dan kedudukan masing-masing pelaku.
Bahkan tidak jarang terjadi pembuktian Pasal 55 KUHP hanya dengan menguraikan kronologi peristiwa pidana dan mengabaikan peran dan kapasitas pekaku, hakim terkadang sampai pada kesimpulan bahwa Pasal 55 KUHP sudah terbukti. Padahal dengan menguraikan kronologi belumlah cukup untuk sampai pada kesimpulan dan memang hanya bisa sebatas menyatakan adanya kerjasama secara kolektif. Dalam konteks inilah acap seorang terdakwa dirugilkan hak pembelaan dirinya atas penyimpulan pasal 55 KUHP yang dangkal dan sederhana. Bahkan tidak sesuai dengan esensi yang terkandung dalam pasal 55 KUHP.
Dalam proses penegakkan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.
Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggabarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.
Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyerrtaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.
Memahami konsep teoritik deelneming (penyertaan) tersebut, maka dalam konteks Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jelas terlihat suatu penyertaan yang tersusun, yakni;
yang melakukan
yang menyuruh lakukan
yang turut serta melakukan
yang sengaja melakukan
Jika diperhatikan rumusan Pasal 55 tersebut, maka adalah tidak mungkin dalam pembuktian Pasal 55 KUHP dalam pemeriksaan perkara pidana, pasal ini dinyatakan sebagai terbukti hanya dengan menyimbulkan adanya kerjasama kolektif tanpa menunjukkan peran dari masing-masing pelaku dari suatu tindak pidana. Apalagi diantara pelaku terdapat hubungan kerja atasan dan bawahan dan disisi lain ada kewenangan-kewenangan dari hubungan atasan-bawahan dimaksud.
Bahwa suatu tindak pidana yang pelakunya lebih dari satu orang, apalagi diberkas dalam satu perkara, maka jadi aneh apabila hanya dengan menyebutkan adanya kerjanya secara kolektif disimpulkan pasal 55 KUHP sebagai terbukti, padahal peran dan kedudukan dari masing-masing pelaku tidak ditemukan, misalnya manakah diantara pelaku tindak pidana yang ditempatkan sebagai orang yang melakukan, menyuruh lakukan atau iku melakukan. Dalam konteks ini betapa penting menemukan kapasitas dari masing-masing pelaku tindak pidana, apalagi terkait dengan hubungan kerja formal.
Dengan hanya mengedepan adanya hubungan kerjasama secara koletif dan hakim menjatuhkan vonis kepada pekaku, sesungguhnya proses pemeriksaan suatu tindak pidana belum tuntas dan belum menemukan kebenaran materil dan formil. Apalagi hakim tidak bisa menentukan perbuatan-perbuatan pelaku dalam jabatan dan kedudukannya masing-masing. Tidak jarang hakim abai dengan rumusan dakwaan penuntut umum yang hanya menyebutkan si-A, bersama dengan SI-B dan C telah melakukan...., padahal antara A, B dan C mempunyai kedudukan dan kewenangan atau kapasitas yang berbeda. Selain itu adakalanya penyebutan demikian hanya guna menjangkau agar penggunaan Pasal 55 KUHP terpenuhi, padahal apabila digali da ditemukan detail dari kapasitas dan eksistensi dari masing-masing pelaku, besar kemungkinan Pasal 55 KUHP tidak terpenuhi. Meskipun tindak pidana itu terjadi dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu, tetapi tidak selamanya dapat dihubungkan dengan Pasal 55 KUHP. Akibat cara merumuskan uraian perbuatan pidana dan adanya keengnanan atau mungkin kekurangan memahami masalah dan lingkungan tempat dimana tidak pidana itu terjadi, maka istilah adanya kerjasama secara kolektif dipadang sebagai telah terpenuhinya Pasal 55 KUHP yang secara teknis meminta adanya kejelasan peran dan kedudukan masing-masing pelaku.
Bahkan tidak jarang terjadi pembuktian Pasal 55 KUHP hanya dengan menguraikan kronologi peristiwa pidana dan mengabaikan peran dan kapasitas pekaku, hakim terkadang sampai pada kesimpulan bahwa Pasal 55 KUHP sudah terbukti. Padahal dengan menguraikan kronologi belumlah cukup untuk sampai pada kesimpulan dan memang hanya bisa sebatas menyatakan adanya kerjasama secara kolektif. Dalam konteks inilah acap seorang terdakwa dirugilkan hak pembelaan dirinya atas penyimpulan pasal 55 KUHP yang dangkal dan sederhana. Bahkan tidak sesuai dengan esensi yang terkandung dalam pasal 55 KUHP.