Thursday, June 9, 2011

Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?

Selama ini diasumsikan bahwa antara syari’ah dengan tasawuf merupakan dua sisi ang selalu dihadapkan secara vis a vis. Fanatisme syari’ah (baca : fuqaha) memandang haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasi, baik secara naql maupun nalar. Sementara para pelaku tasawuf tidak ketinggalan dalam mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam di atas putih dan formalitas belaka, tanpa menangkap essensi Islam. Rumor di kalangan masyarakat jawa, bahwa syaringat (bacaan orang jawa) itu dipahami nek sare njengat atau kata Mekah dipahami nek turu mekakah menjadi salah satu bukti kesenjangan antara syariat dan tasawuf.

Patut dicatat, bahwa insiden al-fitnah al-kubra yang menghantarkan jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an, diganti Muawiyah merupakan sumber utama bagi perpecahan kaum muslimin dalam berbagai sekte dan aliran.

Para analis sepakat bahwa, peristiwa ini awalnya bersifat politis, kemudian merembet kepada wilayah aqidah serta aspek-aspek keagamaan lainnya. Fenomena semacam ini pada akhirnya juga mewarnai hampir semua polemik di tubuh umat Islam yang mengatasnamakan agama.

Al-Hallaj (w. 309 H) diekskusi dengan dakwaan menyebarluaskan ajaran hulul dalam tasawuf. Ajaran itu diputuskan sesat oleh penguasa berdasar legitimasi para fuqaha mazhab dhahiriy.

Penentuan sesat atas pengalaman batin al-Hallaj jelas lebih bermuatan politis, karena keberpihakan al-Hallaj –sebagai seorang shufi agung yang sudah tidak ada ruang untuk membenci– kepada rakyat kecil dan kelompok marginal; seperti syi’ah, qaramithah serta non-muslim.

Di pula Jawa, kasus serupa dialami Syaikh Siti Jenar (Lemah Abang) yang didakwa menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti, sehingga oleh para wali kerajaan saat itu divonis hukuman pancung. Dari sinilah akhirnya para fuqaha yang dimotori kepentingan politis penguasa menciptakan ketegangan yang tak berujung antara syariah dan tasawuf. Kebebasan para shufi dalam menaungi pengalaman batinnya serba diatur oleh hukum formal. Karena itu, image pemisahan syariah dan tasawuf pada mulanya lebih sebagai fenomena politisasi agama yang berimbas pada dichotomi dua unsur utama ajaran Islam tersebut oleh kalangan awam atau dijadikan senjati bagi para penguasa untuk mempertahankan status quo.

Distingsi kedua aspek penting dalam ajaran Islam tersebut sangat dimungkinkan, karena antara keduanya memiliki sisi yang jelas tidak dapat dipersamakan. Bahwa tasawuf itu lebih menempati wilayah batin atau hati, suatu daerah yang tak dapat ditembus oleh inderawi manusia. Wilayah ini bersifat immateri yang permanen. Ia hanya dapat diteropong melalui cahaya (nur) emanasi Tuhan ke dalam masing-masing qalbu manusia yang hanya dapat dideteksi melalui bashirah (mata hati). Sementara, syariah bersifat lahiriah yang legal-formal yang dapat ditangkap mata telanjang.

Integrasi syariah dengan tasawuf dengan demikian menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariah merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,

an-tabudallaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fainnahu yarak,

hendaknya kalian beribadah (bersyariat) seakan-akan kamu milhat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia melihatmu.

Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah (bersuci) sebelum melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihtan Tuhan, tasawuf mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.

Kemudian apabila seorang sedang shalat; syariat mengharuskan memenuhi syarat dan rukun, sementara tinjauan ihsan (shufistik) mengharuskan aktivitas hati yang tulus, hudlur dan khusyu. Semakin mendalam realisasi shufistik seseorang, pada gilirannya justeru semakin meningkatkan kualitas ke-Islam-an dan syariah orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.

Di sisi lain, penguatan aspek tasawuf juga akan menjadi dinamisator bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui shufi dalam ber-revolusi, Apabila terlalu banyak hambatan dan lobangannya jangan harap akan sampai pada terminal akhir. Secara eksplisit Allah swt sering menyitir bahwa, wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa li-ya buduni,

Maknanya, bahwa penciptaan jin dan manusia hanyalah untuk marifat kepada-Nya. Marifat (pengenalan) mula-mula dengan secara inderawi (syariah), namun setelah semakin dekat relasi inderawi saja tentu belum cukup, maka muncullah pengalaman mahabbah (cinta), hulul, ittihad hingga wihdatul wujud dari para shufi.

Dalam firman-Nya yang lain, “wa lal-akhiratu khairun la-ka minal-ula” tidakkah, masa depan (akhirat, ihsan/tasawuf) lebih baik daripada yang permulaan (dunia, syariat).

Nilai-nila spirit tasawuf atas syariah juga dapat kita jumpai dalam setiap maqamat (station-station) dan ahwal para shufi, misalnya :

1. Taubat yang didasarkan atas firman Allah swt yaa ayyuhal-ladzina amanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuha”,akan menumbuhkan sikap konsekuen dan tanggung jawab seorang hamba;

2. Zuhud yang disandarkan atas firman-Nya wa kaanuu fi-hi minaz-ahidin”, akan meningkatkan kebesaran jiwa manusia;

3. Faqr yang disandarkan firman-Nya lil-fuqara’il-ladzina uhshiruu fii sabiilillah..”akan membentuk jiwa yang kharismatik dan mengikis sikap oportunis;

4. Sabar yang didasarkan firman Allah innama yuwaffash-shaabiruuna ajrahum bi-ghairi hisab”, akan membentuk pribadi yang bermental baja;

5. Tawakkal yang bersumber dari firman Allah wa ‘alallahi fal-yatawakkalil mutawakkilun”, akan membangun independensi seseorang,

6. Syukur fadzkuruu-ni adzkurkum, wasykuruu lii wa-laa takfurun”akan memberangus keserakahan seseorang;

7. dan lain-lain demikian seterusnya.

Integrasi syariat dan tasawuf juga nampak dari pertautan ajaran jihad dengan mujahadah. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan pertempuran, memerangi tempat kemaksiatan serta perjuangan material lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan hawa nafsu, amarah serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk pertempuran di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilahkan antara satu dengan lainnya, karena justeru akan menjadi komplemen.

Wal-Hasil, syariah dan tasawuf sebetulnya merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut secara vis a vis, selain akan memperlihatkan kebodohan seseorang, juga memberikan indikasi adanya upaya politisasi Islam.

Karena itu, persoalan agama, sepanjang tidak dijadikan komoditas politik akan mendamaikan kehidupan manusia, tetapi jika sebaliknya akan nampak keras dan tidak membawa kesejahteraan. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, pasti bukan tipologi shufi. Tasawuf dengan demikian mampu menjadi muara bagi semua madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan sunni, syii, mutazili maupun lainnya. Bahkan syariat lintas agama pun mampu bersarang dalam tasawuf. Inilah essensi dan substansi Islam.


Wallohu a’lam bish-showab,-

from : KH Said Aqil Siradj ; “Bertarikat tanpa Syariat”
Source : Netlog.wordpress.com

No comments:

Post a Comment