Monday, February 18, 2013

Di Jepang, Sekolah dasar mengajarkan MORAL, di Indonesia mengajarkan ILMU TEKNOLOGI



Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Tuesday, February 5, 2013

Pengakuan Dedengkot CIA

CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelejen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Tiga huruf itu kemudian bergetar di seluruh dunia sebagai tangan-tangan hitam Amerika.  Artikel ini adalah kutipan dari buku Portrait of a Cold Warrior: G.P. Putnam’s Sons karya Joseph Burkholder Smith, bekas agen Central Intelligence Agency, terbitan 1976. Majalah Tempo pada 1988 menulis, Joseph tak ragu-ragu menguliti keanehan, kelucuan, kecerobohan, bahkan ketololan organisasi rahasia CIA, termasuk usaha mendongkel pemerintahan Soekarno dengan membantu gerakan separatis PRRI dan Permesta.
Butuh waktu buat saya untuk membiasakan diri memakai papan nama yang dikalungkan ke leher. Untuk membiasakan diri menyadari bahwa kerja saya selanjutnya akan didominasi oleh lemari dengan tiga kombinasi. Setiap malam, segala sesuatu, sampai pita mesin ketik pun, mesti diamankan di dalam lemari itu. Sementara itu, tiga petugas berganti-ganti memeriksa, untuk meyakinkan segala sesuatu normal-normal saja. Siapa pun melanggar aturan-aturan tersebut akan dihukum: harus menempuh ulang pendidikan sekuriti selama satu minggu. Kabar burung mengatakan, tiga pelanggaran akan membawa pemecatan.
Pikir-pikir, segala macam peraturan pengamanan yang mengatur hidup saya dengan edannya itu hanya aneh-anehan saja, bahkan sering lucu. Coba pikir, sudah ada pagar jangkung, ada pengawal gerbang yang melindungi dan memelihara keamanan gedung, ada seabrek aturan sekuriti, masih ada lagi akal: tak memasang papan nama. Tampaknya, tak ada yang ingat bahwa jajaran gedung CIA yang tak diberi tanda pengenal itu justru akan mengundang kecurigaan. Karena itulah satu-satunya bangunan tanpa tanda pengenal.
Aturan sekuriti pribadi tak kalah lucunya, karena bertentangan dengan aturan fisik di kantor. Para karyawan mendapat instruksi: tidak boleh mengatakan bahwa mereka bekerja buat CIA. Terutama para pejabat di Bagian Klandestin, tempat saya bekerja. Tapi anehnya, tak ada seorang pun yang berpikir untuk memperlengkapi kami dengan semacam topeng samaran. Dalam hal itu, kami jadi mengandalkan pada kelihaian masing-masing. Sementara itu, untuk hal-hal yang penting seperti referensi kredit atau referensi dalam menyewa rumah, dan membuka rekening di bank, kami hanya diberi referensi yang sama — Viola Pitts, 2430 “E” Street, N.W.
Selalu diingatkan agar kami tidak membiarkan siapa pun melihat pas kami. Dengan pas tersebut kami diperbolehkan masuk ke dalam kompleks setiap pagi. Tapi tampaknya tak ada seorang pun yang berpikir tentang masalah sekuriti di pelataran parkir. Setiap pagi serentetan orang, bagaikan parade, dengan santainya berjalan dari lapangan parkir dan masuk ke dalam gedung-gedung. Barisan kami demikian jelasnya, sehingga tak diperlukan tanda pengenal lain untuk masuk. Matac mata Soviet pasti akan tahu siapa “barisan manusia yang masuk ke dalam gedung tak dikenal” itu.
Jam kerja di Gedung “L” dan “K” dimulai pukul 0.30, tapi persoalan mendapatkan tempat parkir menyebabkan hampir semua orang mesti datang lebih pagi. Mereka yang datang pagi biasanya berkumpul di kafetaria buat minum kopi.
Setiap pagi saya mendapat kesempatan mengamat-amati rekan-rekan sekerja. Dari kebiasaan itu, dapat saya simpulkan bahwa perubahan masa jelas sekali tergambar pada kami. Umumnya “karyawan” tipe baru sangat muda usia. Yang lebih senior selalu memasuki kafetaria dengan topi. Mereka benamkan kepalanya dalam-dalam ke topi sampai hampir kehilangan alis. Atribut itu sudah lama lenyap dari busana mereka yang lebih muda. Entah kenapa orang-orang yang lebih tua itu masih saja mempertahankannya.
Saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mengomentari pemakaian topi itu. “Kau pasti akan melihat sendiri nanti pada waktu menjalani latihan untuk Bagian Klandestin,” kata John, seorang rekan baru saya. “Memang masih agak lama. Tapi baiklah, supaya tidak penasaran, aku ceritakan sekarang saja. Orang-orang itu adalah bekas agen FBI atau perwira dalam Bagian Kontraintelijen Tentara. Mereka biasanya diajar, betapa pentingnya seorang agen rahasia selalu memakai topi.”
“Mengapa?” tanya saya penasaran. “Kita mesti pakai topi. Itu upaya terbaik supaya sukar dikenal,” jawab John.

Gurun Pasir Dikepung Pegunungan Salju

Pemandangan yang sangat aneh terlihat di sebuah Pegunungan Siberia yang mempunyai suhu sangat dingin. Di antara pegunungan yang menjulang tinggi berkarpet salju, terdapat daerah gurun pasir dengan warna kuning yang khas.

Berjarak sekitar 40 km dari Gunung Kodar, kawasan Trans-Baikal, Pegunungan Siberia, Rusia, terdapat pemandangan tidak biasa. Gurun pasir seluas 37 km2 menjadi potret gambaran permukaan bumi yang sangat aneh. Di antara putihnya salju yang menutupi pegunungan sekitar, ternyata masih terdapat sebuah gurun pasir. Gurun Pasir Chara merupakan salah satu daya tarik yang cukup kuat bagi wisatawan internasional, khususnya pecinta travelling.


Banyak para pendaki gunung yang ingin melihat sendiri keanehan alam ini. Bukit pasir setinggi 15-30 meter membentang sepanjang sungai es yang terdapat di dasar pegunungan. Gurun pasir Chara terlihat mirip sekali dengan padang pasir yang ada di Mesir.

Anda bisa coba menjejakkan kaki di sini untuk merasakan sendiri bahwa padang ini benar-benar diisi pasir. Sejauh mata memandang, hanya warna coklat muda khas pasir yang akan terlihat. Sesaat Anda akan merasa sedang berada di Timur Tengah, minus gerombolan unta dan pohon-pohon kaktus.



Gurun pasir Chara ini diduga terbentuk sekitar 50 atau 100 tahun yang lalu, seperti dikutip dari Amusing Planet. Dataran segitiga yang ada di depan Gunung Sakukan terkikis oleh angin dan cuaca. Kikisan tersebut menghasilkan daerah perbukitan kecil dan juga padang pasir.