Saat ini banyak kita dengar bahwa berbagai macam aliran dan kelompok fanatisme dalam Islam yang mana menganggap merekalah paling benar dari yang lainnya.Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yang menganggap di luar kelompok mereka sebagai sesat dan mudah mengkafirkan sesama.
Tapi apakah itu Islam seperti yang telah diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW, saling berkelompok-kelompok dan saling mengklaim paling benar ????Tentu tidak demikian!!!
Saya merasa itu adalah fanatisme mereka belaka karena Islam hakikatnya adalah agama yang penuh cinta kasih dan cinta damai serta toleransi.Seperti yang telah kita ketahui Rasulullah dalam berdakwah selalu menekankan akan nilai bukan hasil maupun jumlah.Karena faktor hidayah lah yang membuat seseorang itu akan menerima kebenaran, sedang hidayah itu adalah urusan Alloh SWT semata
.Dalam berdakwah orang yang kita dakwahi tidak harus menerima mentah-mentah apa yang kita sampaikan dan mengikutinya.Berdakwah itu ibarat memberi makan kepada orang, kalau yang sedang lapar maka akan dimakanlah/ ditelanlah apa saja yang kita berikan.Tapi bagaimana pada mereka yang telah kenyang dan tidak memerlukan apa yang kita coba berikan????Tentu akan membuang waktu saja kita membujuk mereka, kan?? Apalagi sampai memaksa mereka.Berilah waktu sampai mereka merasa lapar dan dengan senang hati menikmati apa yang akan kita berikan itu. Dakwah itu memang perlu waktu, sangat rugilah kita kalau menghendakinya berhasil dalam tempoh yang singkat karena yang kita dapatkan hanya kuantitas bukan kualitas.Baginda Rasulullah saja berdakwah selama kurang lebih dalam kurun waktu 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Di Indonesia sendiri kita mengenal adanya para “wali songo” yang berdakwah menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,yang mana cukup ajaib buat saya juga adalah fakta sejarah bahwa para wali itu sebagian besar adalah orang-orang asing. Menurut buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba, “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan, 2007) dan juga Sajarah Wali dalam Naskah Mertasinga, para wali kebanyakan berasal dari tanah Arab dan Campa.
Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai darah Arab. Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari Campa, perdebatan sering merujuk Campa sebagai salah satu daerah di Kamboja.
Kenyataan bahwa orang-orang asing khusus datang dan berkumpul ke pulau Jawa untuk menyebarkan dakwah Islam, adalah hal yang cukup menarik untuk diselami. Mengapa mereka datang ke pulau Jawa? Dan lebih hebatnya lagi mengapa mereka yang berdarah asing itu dapat membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai lokal atau lebih tepatnya ‘berdakwah dengan “bahasa” kaumnya’? Ini adalah misteri yang membutuhkan studi yang panjang, namun dengan khazanah sufistiknya yang unik, para wali mengajarkan nenek moyang kita untuk menyembah Tuhan dengan keberserahdirian yang sederhana.
Sayangnya esensi dari ajaran para wali ini terlupakan saat ini. Banyak orang di Indonesia mencoba mencari refleksi keagamaannya ke luar dan bukan pada dirinya sendiri. Gerakan Pan Islamisme tahun 80-an agaknya banyak membuat perubahan dalam berislamnya orang Indonesia. Faham-faham yang serba keras, hanya berwajah syariah tanpa percikan kebijakan membuat Islam difahami dengan perspektif yang amat berbeda pada generasi–generasi muda Islam Indonesia yang ada saat ini.
Gerakan–gerakan Islam yang banyak merupakan turunan dari organisasi Islam dari Mesir atau Saudi Arabia, membuat banyak orang terasing dari sejarah keberagamaannya sendiri. Aliran garis keras ini pun direaksi dengan gerakan keIslaman yang liberal yang mencoba memasukkan Islam mempunyai logika berfikirnya sendiri yang transenden, dalam kerangka ilmiah barat yang sifatnya materialistik.
Saya tidak menemukan wajah Islam yang diyakini oleh nurani saya pada dua sisi ekstrim tersebut. Namun saya menemukan ketersambungan akar keyakinan saya tentang bagaimana seharusnya beragama Islam dalam ajaran para wali.
Sekarang, disaat Islam didentikan dengan terorisme dan kekerasan, Indonesia sering ditoleh oleh barat sebagai anti thesa bahwa Islam adalah wujud dari kedamaian dan toleransi. Menurut saya sudah saatnya untuk menggali dan mencoba menemukan inti dari warisan ajaran-ajaran para wali, sehingga kita bisa menemukan keunikan sejarah keberagamaan kita sendiri dan menyebarkan pada dunia, wajah Islam yang sebenarnya sebagai Rahmat sekalian alam.
Wallohu’alam!!!
Tapi apakah itu Islam seperti yang telah diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW, saling berkelompok-kelompok dan saling mengklaim paling benar ????Tentu tidak demikian!!!
Saya merasa itu adalah fanatisme mereka belaka karena Islam hakikatnya adalah agama yang penuh cinta kasih dan cinta damai serta toleransi.Seperti yang telah kita ketahui Rasulullah dalam berdakwah selalu menekankan akan nilai bukan hasil maupun jumlah.Karena faktor hidayah lah yang membuat seseorang itu akan menerima kebenaran, sedang hidayah itu adalah urusan Alloh SWT semata
.Dalam berdakwah orang yang kita dakwahi tidak harus menerima mentah-mentah apa yang kita sampaikan dan mengikutinya.Berdakwah itu ibarat memberi makan kepada orang, kalau yang sedang lapar maka akan dimakanlah/ ditelanlah apa saja yang kita berikan.Tapi bagaimana pada mereka yang telah kenyang dan tidak memerlukan apa yang kita coba berikan????Tentu akan membuang waktu saja kita membujuk mereka, kan?? Apalagi sampai memaksa mereka.Berilah waktu sampai mereka merasa lapar dan dengan senang hati menikmati apa yang akan kita berikan itu. Dakwah itu memang perlu waktu, sangat rugilah kita kalau menghendakinya berhasil dalam tempoh yang singkat karena yang kita dapatkan hanya kuantitas bukan kualitas.Baginda Rasulullah saja berdakwah selama kurang lebih dalam kurun waktu 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Di Indonesia sendiri kita mengenal adanya para “wali songo” yang berdakwah menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,yang mana cukup ajaib buat saya juga adalah fakta sejarah bahwa para wali itu sebagian besar adalah orang-orang asing. Menurut buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba, “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan, 2007) dan juga Sajarah Wali dalam Naskah Mertasinga, para wali kebanyakan berasal dari tanah Arab dan Campa.
Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai darah Arab. Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari Campa, perdebatan sering merujuk Campa sebagai salah satu daerah di Kamboja.
Kenyataan bahwa orang-orang asing khusus datang dan berkumpul ke pulau Jawa untuk menyebarkan dakwah Islam, adalah hal yang cukup menarik untuk diselami. Mengapa mereka datang ke pulau Jawa? Dan lebih hebatnya lagi mengapa mereka yang berdarah asing itu dapat membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai lokal atau lebih tepatnya ‘berdakwah dengan “bahasa” kaumnya’? Ini adalah misteri yang membutuhkan studi yang panjang, namun dengan khazanah sufistiknya yang unik, para wali mengajarkan nenek moyang kita untuk menyembah Tuhan dengan keberserahdirian yang sederhana.
Sayangnya esensi dari ajaran para wali ini terlupakan saat ini. Banyak orang di Indonesia mencoba mencari refleksi keagamaannya ke luar dan bukan pada dirinya sendiri. Gerakan Pan Islamisme tahun 80-an agaknya banyak membuat perubahan dalam berislamnya orang Indonesia. Faham-faham yang serba keras, hanya berwajah syariah tanpa percikan kebijakan membuat Islam difahami dengan perspektif yang amat berbeda pada generasi–generasi muda Islam Indonesia yang ada saat ini.
Gerakan–gerakan Islam yang banyak merupakan turunan dari organisasi Islam dari Mesir atau Saudi Arabia, membuat banyak orang terasing dari sejarah keberagamaannya sendiri. Aliran garis keras ini pun direaksi dengan gerakan keIslaman yang liberal yang mencoba memasukkan Islam mempunyai logika berfikirnya sendiri yang transenden, dalam kerangka ilmiah barat yang sifatnya materialistik.
Saya tidak menemukan wajah Islam yang diyakini oleh nurani saya pada dua sisi ekstrim tersebut. Namun saya menemukan ketersambungan akar keyakinan saya tentang bagaimana seharusnya beragama Islam dalam ajaran para wali.
Sekarang, disaat Islam didentikan dengan terorisme dan kekerasan, Indonesia sering ditoleh oleh barat sebagai anti thesa bahwa Islam adalah wujud dari kedamaian dan toleransi. Menurut saya sudah saatnya untuk menggali dan mencoba menemukan inti dari warisan ajaran-ajaran para wali, sehingga kita bisa menemukan keunikan sejarah keberagamaan kita sendiri dan menyebarkan pada dunia, wajah Islam yang sebenarnya sebagai Rahmat sekalian alam.
Wallohu’alam!!!
No comments:
Post a Comment